Berita

Belajar Kearifan Lokal Kepercayaan Jingitiu di Sabu-Raijua

Dua perempuan Sabu sedang memasak tuak di Sabu. [sumber: Kalman Muller/KITLV]

Dua perempuan Sabu sedang memasak tuak di Sabu. [sumber: Kalman Muller/KITLV]

Eddy Mesakh
BATAM, KEPULAUAN RIAU

PENOPANG utama kehidupan masyarakat di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur, umumnya adalah bertani  dan menyadap lontar. Aktivitas bertani di Sabu Raijua sangat bergantung pada kondisi alam dan musim. Yang menarik adalah semua aktivitas tersebut tak terpisahkan dari kearifan lokal menurut agama suku atau agama nenek moyang mereka, yakni Jingitiu.

Saya bertemu Kepala Suku atau Mone Ama Due Kale di Desa Eilogo, Liae, Sabu Timur, hampir 13 tahun silam. Mone Ama yang dinobatkan sejak 1995 itu menuturkan, penganut Jingitiu percaya adanya penguasa tertinggi alam semesta yang disebut Lirubala (Tuhan Langit). Semua tata kehidupan manusia, termasuk dalam hal bertani dan menyadap lontar, harus mengikuti kehendak Lirubala yang diterjemahkan oleh para tetua adat.

Tugas seorang Mone Ama adalah pertama, mengatur anak-anak suku untuk menggarap atau mengusahakan tanah-tanah suku untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jika ada persoalan terkait tanah suku, maka Mone Ama harus menjadi penengah yang adil. Kedua, merangkul anak-anak suku dan sub-sub suku (ketukerogo), yakni Dara Wai (Seba), Kole Wai (Mehara), Wara Wai (Liae), Laki Wai (Timu), Dida Wai (Menia), dan Jaka Wai (Raijua).

Mone Ama Due Kale menjelaskan bahwa untuk menjalankan tata aturan bagi masyarakat atau “do hawu”, dirinya dibantu oleh Ratu Mode Pidu (tujuh raja/tujuh tetua adat laki-laki), Ratu Mone Lemi (Lima Raja Laki-laki), dan Ratu Mone Telu (Tiga Raja Laki-laki). Ratu Mode Pidu adalah Pulodo, Dohe, Kenube, Maukia, Gerao, Rue, dan Dalu. Ratu Mone Lemi terdiri atas Deo Rai, Bawa Iri, Rohi Lodo, Dohe Rai, dan Maukia. Sementara Ratu Mone Telu juga terdiri atas Deo Rai, Bawa Iri, dan Maukia. Deo Rai pada Ratu Mone Telu berbeda tugas dan tanggungjawab dengan Deo Rai pada Ratu Mone Lemi.

Dalam kehidupan masyarakat penganut Jingitiu, setiap aspek kehidupan tidak boleh bertentangan dengan tata aturan yang ada karena diyakini hal tersebut bisa mengganggu keseimbangan alam sekaligus merugikan bagi seluruh komunitas. Sehingga apabila ada yang melanggar, langsung mendapat sanksi tegas berupa denda adat. Misalnya dalam hal menyadap lontar. Nira hasil sadapan lontar yang dilakukan di luar waktu yang ditetapkan para tetua tidak boleh dimasak menjadi gula sabu, melainkan hanya untuk diminum sehari-hari.

Ada waktu yang ditentukan secara adat oleh Dohe sebagai tetua yang berwewenang. Dohe akan membaca tanda-tanda alam untuk menentukan kapan warga boleh menyadap lontar untuk dijadikan gula sabu. Tanda-tanda yang biasa diamati adalah bila burung “koak” dan muray sudah mulai menghisap sari mayang lontar, biasanya pada bulan Juli. Setelah melakukan pengamatan, Dohe melapor kepada Mone Ama. Lalu Dohe melakukan upacara adat dengan memotong seekor ayam jantan warna merah untuk ‘memanggil’ air nira dari Raijua ke Pulau Sabu. Konon, hasil nira di Raijua langsung menurun, sebaliknya hasil nira di Pulau Sabu meningkat, setelah ‘pemanggilan’ nira oleh Dohe.

Dohe sebagai orang yang pertama mempersiapkan pohon-pohon lontarnya untuk disadap, baru diikuti oleh masyarakat umum. Selain tugas tersebut, Dohe juga  bertanggungjawab menentukan kapan warga mulai mengolah lahan dan menanam tanaman pangan, terutama kacang hijau, sorghum, jagung, dan sebagainya.

Aktivitas menyadap lontar dan membuat gula sabu harus diakhiri sekitar akhir November hingga awal Desember kalender Masehi. Dohe akan berdiri di atas bukit untuk membaca tanda-tanda alam, yakni melihat posisi bintang tertentu. Posisi bintang dimaksud harus sejajar dengan mulut Dohe. Kendati sudah turun hujan namun posisi bintang belum tepat,  maka warga belum boleh mempersiapkan lahan mereka. Sebaliknya, kendati belum turun hujan tetapi posisi bintang sudah tepat, Dohe tetap menyatakan bahwa sudah saatnya warga melakukan persiapan lahan. Ketika itu seluruh aktivitas menyadap lontar dan membuat gula sabu harus dihentikan. Tungku-tungku untuk memasak gula sabu harus ditutup/diratakan. Warga yang masih menyadap lontar dan membuat gula sabu dianggap menghambat turunnya hujan. Yang melanggar akan dikenai denda adat, yakni membayar dengan seekor kambing tak bercacat. Kambing ini untuk dijadikan korban persembahan di atas batu keramat guna menarik hujan (kai eji).

Apabila ada warga yang melanggar aturan tapi tidak mengakui kesalahannya, para tetua mengetahui siapa pelanggarnya dan mereka akan mendatangi untuk menagih denda. Para tetua harus menjalankan aturan ini, karena jika tidak, maka seluruh warga akan menanggung akibat dari kemarahan penguasa semesta, bisa berupa bencana alam, gagal panen, maupun wabah penyakit.

Proses persiapan lahan berlangsung setelah Deo Rai pada Ratu Mone Lemi yang mengatur kesuburan tanah dan tanaman melaksanakan upacara adat untuk melepas musim panas (nga’a bagarae).  Deo Rai harus menjadi orang pertama yang mempersiapkan lahan kemudian diikuti seluruh warga.  Deo Rai bertanggungjawab hingga masa panen. Apabila terjadi kegagalan panen karena rendahnya curah hujan, serangan hama atau angin kencang yang merobohkan sorghum, warga akan mencibir ke arah Deo Rai. Dia mendapat hukuman moral dari warga karena dianggap gagal mendatangkan hujan, menghalau hama dan penyakit tanaman, serta tak mampu menutup angin.

Penganut Jingitiu konon masih sekitar  10 persen dari populasi Kabupaten Sabu Raijua. Jingitiu dengan segala tata aturannya merupakan sebuah kearifan lokal sekaligus identitas masyarakat Sabu Raijua yang kini berstatus daerah otonom/kabupaten. Terlepas bahwa kini mayoritas masyarakat di Sabu sudah memeluk Kristen, namun gagasan bijaksana dan bernilai baik yang berlaku sejak nenek moyang perlu dipertahankan. Seperti mengatur kapan saatnya memulai akitivitas pertanian, penanaman tanaman pangan secara serentak, misalnya, sangat tepat untuk memutus mata rantai hama dan penyakit tanaman.

Sebagai contoh hama pada tanaman kacang hijau yang banyak diusahakan masyarakat Sabu. Ada dua hama penting pada tanaman kacang hijau, yakni Kepik Padi Hijau (Nezara viridula) dan Penggerek Polong (Etiella zinckenella Tr.). Kedua jenis hama ini mampu menurunkan produksi kacang hijau hingga 60 persen.  Kepikmengisap polong muda sehingga biji kacang yang dihasilkan menjadi keriput. Sementara larva penggerek polong menyedot isi polong sampai habis.  Siklus kedua jenis hama tersebut bisa diputus dengan pola tanam serentak.

Atau mengenai penentuan kapan waktu yang tepat menyadap lontar untuk dijadikan gula sabu. Selain rendahnya rendemen nira lontar yang dihasilkan pada musim hujan sangat rendah, gula sabu yang dihasilkan dari penyadapan di musim hujan juga berkualitas rendah.  [S]

*) Bahan artikel ini diolah kembali dari hasil reportase untuk newsletter Rantai Info yang diterbitkan oleh Forum Kesiapan dan Penanganan Bencana (FKPB) tahun 2001. FKPB kini telah berganti nama menjadi Perkumpulan Masyarakat Peduli Bencana (PMPB) NTT. 

Satu komentar di “Belajar Kearifan Lokal Kepercayaan Jingitiu di Sabu-Raijua

Tinggalkan Komentar