Foto Sejarah / Sejarah

Raja yang dimakan api: Matinya Raja Bil Nope di Niki Niki (bagian I)

Satutimor.com/KUPANG—

Apa sebenarnya yang terjadi pada bulan Oktober 1910 di Niki Niki dimana Raja Bil Nope terbunuh? Apa yang menyebabkan Bil Nope memberontak terhadap Belanda? Apakah yang terjadi dengan putra mahkota Koko Sufa Leu? Apakah yang memicu pemberontakan fatal terhadap tentara Belanda itu? Apakah ada sebab yang lebih mendasar atau hanya dendam pribadi terhadap Letnan Hoff yang menjadi Residen Amanuban pada saat itu?

Raja Sufa Leu dari Amanuban di atas tandunya. Perhatikan bahwa para pengakut tandunya semuanya menunduk tak boleh menatap wajah Sufa Leu. {Sumber: koleksi KITLV}

Raja Hau Sufa Leu atau Bil Nope dari Amanuban di atas troly dorongnya. Perhatikan bahwa para pengakut tandunya semuanya menunduk tak boleh menatap wajah Sufa Leu. Foto diambil sekitar 1905, lima tahun sebelum pemberontakan Niki Niki. {Sumber: koleksi KITLV}

Pertanyaan-pertanyaan ini telah dibahas dalam tulisan karya Steven Farram dari Charles Darwin University, Usi Lan Ai: the raja who died by fire. The death of Raja Bil Nope in Netherlands Timor,1910  yang diterbitkan dalam Bijdragen tot de Taal- Land en Volkekunde Vol. 165 No. 2-3, halaman 191-215. Berikut itu kami sajikan kepada pembaca secara berseri ringkasan dari tulisan Farram tersebut ditambahi dengan informasi yang berhubungan yang kami dapatkan di sana-sini.

***

Sejak paruhan kedua abad-19 pemerintahan Belanda di Hindia Belanda mengadopsi kebijakan yang disebut ‘absentasi’  atau  tidak-mencampuri banyak wilayah pribumi di seluruh wilayah ini. Dan sebenarnya memang sejak datang ke Timor pada tahun 1613, Belanda tidak sesungguhnya mengontrol kerajaan-kerjaan di Timor. Awalnya Belanda hanya bersekutu dengan sejumlah kerajaan di pesisir barat pulau Timor dan melakukan aktifitas ekonomi politiknya dari Kupang.

Usaha Belanda untuk menerapkan apa yang disebut rust en orde (peace and order) di berbagai wilayah di nusantara tidak dilakukan di Timor. Berbagai kampanye militer untuk menerapkan kontrol resmi Belanda dilakukan dilakukan di berbagai bagian Nusantara, termasuk Jambi (1901-1907) dan Kerinci (1902-1903) di Sumatra, Seram di Maluku (1904), Banjarmasin di Kalimantan (1904-1906), Bone dan berbagai tempat di Sulawesi (1905-1907), dan Bali (1906 dan 1908) (Locher-Scholten 1994:95). Timor relatif dibiarkan.

Namun di awal abad 20, Belanda merubah haluan kebijakan dan memulai apa yang disebut kampanye pasifikasi (pacificatie) di Timor Belanda untuk menegaskan otoritas mereka dan menghentikan perburuan kepala (lebih dikenal di NTT dengan ‘potong kepala’) dan perang antar kerajaan-kerajaan.

Kekuatan-kekuatan Eropa yang lain juga melakukan hal yang sama dengan memperluas wilayah kekuasaan mereka  dan tahun 1870 sampai 1914 sering disebut sebagai periode ‘imperialisme baru’.[1] Sementara Belanda melakukan konsolidasi di Timor bagian barat, Portugis melakukan hal yang sama di Timor bagian timur[2] dan juga memperluas wilayah di Afrika. Pada saat yang sama para penguasa imperial lama seperti Inggris dan Prancis juga memperluas wilayah mereka, dan juga muncul pemain baru seperti Belgia, Jerman dan Italia.

Intervensi Belanda di awal abad 20 terhadap Timor sebenarnya menghancurkan domain-domain adat Timor yang oleh Andrew McWilliam (1999:129) dicirikan sebagai yang ‘cukup kompleks dan bervariasi’. Domain-domian ini bukanlah entitas statis dan telah ada kecendrungan untuk melebur dan bersatu dalam federasi-federasi yang lebih besar dan sebaliknya ada juga kecendrungan sebaliknya untuk terpisah menjadi teritori yang lebih kecil dan independen. Proses peleburan atau pemisahan ini, sebagaimana digambarkan McWilliam, tergantung kepada “kapasitas relative dari pusat-pusat politik yang berkompetisi untuk menarik dan mempertahankan network dan aliansi”.[3]

Intervensi Belanda di awal abad 20 ini mengakhiri proses-proses ini dengan menetapkan batas-batas Negara-negara pribumi ini dan kekuasaan para penguasa mereka. Dengan membuat kontrak yang menyetujui mendukung para penguasa ini, Belanda juga mengakhiri kemungkinan berhasilnya pemberontakan internal.

Kampanye pasifikasi ini membawa dampak yang merusak bagi banyak penguasa lokal di Timor termasuknya hancurnya kerjaan Sonbai raya. Ada juga penguasa lain yang bersekutu dengan Belanda untuk memperkuat posisi mereka dan menghancurkan musuh dari dalam maupun luar domain mereka. Inilah kasus yang di alami raja Amanuban, Hau Sufa Leu, yang juga dikenal dengan Raja Bil Nope, yang meminta anaknya, Koko Sufa Leu, mengundang Belanda masuk ke kerjaaannya di tahun 1906. Namun pada tahun 1910 Bil Nope kecewa dengan pemerintahan Belanda dan memutuskan untuk memberontak.

***

Bil Nope digambarkan dalam laporan-laporan Belanda sebagai penguasa ‘cap lama’. Ia adalah seorang yang kuat dan kejam yang otoritasnya didasarkan pada ketakutan daripada penghormatan.[4] Salah satu bentuk hukumannya adalah menjadikan lawannya sebagai sate manusia dengan cara menusuk kayu tajam ke pantat mereka hingga tembus di kepala mereka. Tubuh para korban kemudian digantung di pohon sebagai peringatan kepada yang lainnya.[5] Nama sang raja sendiri mengambarkan ketakutan yang ia sebarkan kepada rakyatnya, Bil adalah bentuk pendek dari ta’-bil, yang berarti ‘mata tertutup’, karena tak seorangpun diperbolehkan melihat wajahnya, bahkan ketika berbicara kepadanya (Doko 1981:32).

Bil Nope lahir pada tahun 1844 dan menjadi raja Amanuban pada tahun 1870. Tubuhnya besar dan kuat. Ciri fisik ini ditambah dengan kepribadiannya yang keras cukup untuk membuatnya mempertahankan kekuasaannya yang keras di Amanuban (Doko 1981:32). Namun di tahun 1906 kekuatannya mulai memudar. Pada saat itu ia berusia enam puluhan dan hidupnya cukup menderita. Ia menderita syphilis dan kakinya telah lumpuh. Untuk berkeliling ia ditandu di sebuah troly.

Perempuan dan anak-anak di Kolbano sekitar 1909, dua tahun setelah pemberontakan di Kolbano dipadamkan dengan bantuan Belanda. Foto diambil oleh: Scharenberg {sumber: koleksi KITLV}

Perempuan dan anak-anak di Kolbano sekitar 1909, dua tahun setelah pemberontakan yang dipimpin oleh Boi Boimau atau Kapitan Boimau, Esa Taneo dan Pehe Neolaka di Kolbano dipadamkan dengan bantuan Belanda. Foto diambil oleh: Scharenberg {sumber: koleksi KITLV}

Karena sebab inilah beberapa amaf dibawahnya memberontak. Tercatat dua daerah yang melakukan pembangkangan terhadap Bil Nope adalah Babuin dan Kolbano.[6]

Namun Bil Nope lalu mencari bantuan pada Belanda di Kupang. Ia mengirim anaknya. Belanda datang membantu dan berhasil mematahkan pemberontakan di Babuin pada tahun 1906 dan Kolbano pada tahun 1907.

Bil Nope berterima kasih kepada Belanda sehingga ketika Belanda menyerang Amanatun, Bil Nope memberi bantuan, mengirimkan makanan dan bahkan ketika dalam keadaan kurang ia datang beberapa kali mengunjungi pasukan.[7]

Belanda membangun pos permanen di Amanuban dan ketika Bil Nope menandatangani Korte Verklaring (Deklarasi Pendek) pada 1 Juli 1908 ia mengakui kedaulatan Belanda atas kerajaannya.[8] Nampaknya Bil Nope juga berusaha memperkuat hubungannya dengan Belanda dimana ia menikahkan seorang keponakannya dengan seorang sersan Belanda dan membangun rumah untuk mereka di Niki Niki.[9] H.G. Schulte Nordholt (1971:457) berpendapat bahwa Bil Nope tentu saja melihat perkawinan ini dalam perspektif adat Timor di mana ia, sebagai pemberi perempuan (bride-giver), superior dalam hubungan dengan ‘Kompeni’.[10] Namun nampaknya sang sersan ataupun atasannya tidak mengetahui makna dibalik perkawinan ini. Interpretasi yang berbeda dari pihak Bil Nope maupun dari pihak Belanda tidak segera menimbulkan masalah dan hubungan Bil Nope dan Belanda dilaporkan sangat harmonis. [11] Namun ini berubah di akhir 1909 ketika Civiel Gezaghebber Letnan Hoff tiba di Niki Niki untuk mengambil alih pemerintahan di Amanuban.

Niki Niki dilihat dari luar tempat tinggal kepala distrik (districthoofd). kemungkinan besar yang dimaksud kepala distrik adalah raja. Foto ini diambil sekitar tahun 1949 - 1950, berarti 30-an tahun lebih setelah pemberontakan. Pengambil foto adalah F.H. Naerssen. {Sumber: koleksi KITLV}

Niki Niki dilihat dari luar tempat tinggal kepala distrik (districthoofd). kemungkinan besar yang dimaksud kepala distrik adalah raja. Foto ini diambil sekitar tahun 1949 – 1950, berarti 30-an tahun lebih setelah pemberontakan. Pengambil foto adalah F.H. Naerssen. {Sumber: koleksi KITLV}

Sumber-sumber orang Timor melaporkan bahwa Bil Nope tidak puas dengan permintaan Belanda untuk menyerahkan pedang-pedang, kebutuhan untuk melakukan kerja corvée, dan keharusan membayar pajak. Maka rencana jangka panjang untuk melakukan pemberontakan dimulai (Doko 1981:32; Sejarah 1983:54-5). Letnan Hoff melaporkan bahwa pemberontaka  di Niki Niki pada bulan Oktober 1910 dipimpin oleh putra mahkota, Koko Sufa Leu, yang bosan dengan ‘Company’ memberi perintah; sang kaisar katanya tidak punya pilihan dan terpaksa berpartisipasi. Namun sebuah investigasi Belanda kemudian mengungkapkan bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh Bil Nope dan motivasinya adalah untuk menghentikan aksi-aksi Letnan Hoff.[12]

Hoff yang fasih berbahasa Dawan sangat mungkin mengerti benar adat lokal dan tahu bahwa aksi-aksinya akan menimbulkan perlawanan. Salah satu dari tindakannya adalah menikahi anak perempuan Temukung Niti Bani (Nitbani) dari Pene. Dari wilayah Pene ini para penguasa Amanuban selalu mengambil istri mereka. Perkawinan ini tidak saja berarti bahwa sang raja ditolak beristri dari Nitbani tetapi juga mengimplikasikan bahwa Nitbani bahwa lebih baik beraliansi dengan Hoff daripada dengan sang raja. Bil Nope marah, namun Hoff juga mendiskriminasikan sang raja dan berlaku tidak sopan kepada mertuanya itu. Hoff menghina Bil Nope, hanya mendengarkannya sambil lalu, menolak permintaan-permintaannya dan meludah di lantai pada saat sang raja ada – sebuah penghinaan  besar.[13]

Hoff juga mencampuri urusan istana Bil Nope. Sekitar 100 orang yang tinggal di istana dipulangkan ke kampung mereka masing-masing. Sang mafefa, juru bicara raja dan mentrinya yang paling penting, ditolak untuk masuk ke istana (sonaf), dimana ia setiap hari datang ke sana. Sejumlah perempuan muda yang tinggal di istana, termasuk beberapa orang yang diperuntukkan untuk menikahi raja, dipindahkan. Seorang perempuan muda dari keluarga yang sama dengan keluarga dari istri Hoff, melarikan diri dari istana dan tinggal di rumah Hoff. Hoff menolak permintaan Bil Nope agar perempuan itu dikembalikan. Sebaliknya perempuan itu dinikahkan dengan seorang China bernama Oeij Tjoe Oean. Ini terjadi empat atau lima bulan sebelum pemberontakan.[14] Menurut sebuah laporan lain (Krayer van Aalst 1924:61), perempuan yang menikah dengan Oeij Tjoe Oean bernama Bi Nona Besa dan merupakan istri kesayangan Bil Nope.  Lebih daripada itu, ia dikatakan tidak melarikan diri dari istana melainkan dipaksa keluar oleh Letnan Hoff.

Ini semua membuat Bil Nope merasa terhina dan segera menimbulkan pemberontakan. Semuanya terjadi di luar pengetahuan para atasan Hoff di Kupang. Tidak ada yang menentang aksi-aksi Hoff dan penduduk lokal mungkin takut melapor ke pemerintah Belanda di Kupang.

Hoff memanipulasi system adat orang Timor untuk kepeningannya sendiri, tetapi aksi-aksinya menghina Bil Nope (Schulte Nordholt 1971:459). Bil memilih cara Timor untuk menyelesaikan masalah ini: perang. {BERSAMBUNG}


[1] Beberapa tulisan tentang topic ini antara lain Owen dan Sutcliffe 1972 dan Fieldhouse 1982. Fieldhouse 1983 memberikan penjelasan yang gambling tentang isu ini.

[2] Portugis telah mengatasi beberapa pemberontakan di Timor bagian timur di akhir abad 19 and awal abad 20. Sebuah pemberontak besar dimulai tahun 1911, dipimpin oleh penguasa Manufahi, Dom Boaventura, dan hanya bisa dipadamkan setelah dua tahun. Setelah tahun 1913 posisi Portugis sebagai penguasa di Timor Timur tidak tertandingi.

[3] McWilliam (1999:129, 131) menggambarkan domain orang Timor yang ideal sebagai yang terdiri dari empat sub-distrik disekeliling sebuah pusat kekuasaan. Sub-distrik-sub distrik ini men-suply puat dengan persembahan panen dan sebagai balasannya mereka menerima layanan ritual untuk menjamin kesejahteraan dan kesuburan tanah.

[4] For example, see H. Gramberg, ‘Koko Soefa Leo, radja moedah van Amanoebang’, 1 October 1913, in Memories.

[5] Wawancara Steven Farram dengan Markus Banamtuan, SoE, 26 June 2000.

[6] Untuk pemadaman pemberontakan di Babuin dan Kolbano dengan bantuan Belanda, lihat Farram, Usi Lan Ai, hal. 198-205.

[7] H. Gramberg, ‘Koko Soefa Leo, radja moedah van Amanoebang’, 1 Oktober 1913, in Memories.

[8] J. Venema, ‘Algemeene memorie betreffende de onderafdeling Zuid-Midden Timor’, 1916,dalam

Indonesia: memories 1981.

[9] H. Gramberg, ‘Koko Soefa Leo, radja moedah van Amanoebang’, 1 Oktober 1913, in Memories.

[10] Meskipun Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC, PerusahaanDagang Hindia Belanda) telah bangkrut pada abad 18, banyak orang Timor tetap menyebut pemerintahan Belanda sebagai ‘Kompeni’.

[11] H. Gramberg, ‘Koko Soefa Leo, radja moedah van Amanoebang’, 1 Oktober 1913, dalam Memories.

[12] H. Gramberg, ‘Koko Soefa Leo, radja moedah van Amanoebang’, 1 Oktober 1913, dalam Memories.

[13] H. Gramberg, ‘Koko Soefa Leo, radja moedah van Amanoebang’, 1 Oktober 1913, dalam Memories.

[14] H. Gramberg, ‘Koko Soefa Leo, radja moedah van Amanoebang’, 1 Oktober 1913, dalam Memories.

Perkawinan perempuan muda ini dengan Oeij Tjoe Oean juga disebutkan dalam Doko (1981:35).

6 komentar di “Raja yang dimakan api: Matinya Raja Bil Nope di Niki Niki (bagian I)

  1. Kalau sudah ada keleluasaan waktu, mudah2an saya bisa baca buku Farram. Sewaktu dia mempersiapkan disertasinya, Steve sempat mengikuti milis Bolelebo dan selalu melemparkan berbagai pertanyaan ke milis. Maklum saat itu FB masih belum ada. Berapa hari lalu setelah baca tulisan di sini tentang Mutiny on the Bounty, saya buka arsip di milis Bolelebo dan sempat lihat berbagai komentar di sekitar tahun 2001 – 2002. Dari sana saya temukan link ke Disertasinya Steve. Menarik sekali membaca tulisan yang membangkitkan kenangan sekitar tragedi 1965. Mudah2an setelah pensiun nanti saya bisa menulis kembali apa yang saya ingat dari masa itu, yang saya lihat belum ada dalam tulisan Steve. Terima kasih atas usaha keras anda dan seperti yang saya katakan dalam komentar di posting sebelumnya (seri ke-2 tulisan ini — iya, itu yang saya baca duluan), semoga berhasil. Saya tunggu disertasinya.

    Suka

  2. Om punya Thesisnya ko? cukup tebal jadi agak susah saya masukan ke Box ALUKOSU satutimor.com. Tapi kayaknya tersedia secara gratis di website KITLV. Kalau tulisannya yang saya rinkas ini akan saya masukan ke BOX supaya bisa diakses pembaca satutimor.com

    Suka

Tinggalkan Komentar