Kereta Api Masa kecilku
Ke dalam pasar aku selalu datang
sekedar lewat menengokmu di sana
Ada yang mengganjal di hatiku,
tak suka cara mereka memperlakukanmu
Kau selalu ditindih wadah besar tak layak
dan beberapa potong besi
Ingin kupindahkan wadah itu
Tapi hijau dan merah warnamu bukan milikku
Jendela-jendela kecil itu milik pedagang-pedagang itu
Entah darimana mereka datang
Ada yang bilang dari Baá, ada yang bilang dari Papela
Ada yang bilang dari Oenggae
Oh kereta kecil di pasar Lalao
Kunantikan kamu setiap pasar senin
Ke sana aku menantimu di tengah keramaian pasar
Tempat jeep tua paman Halem diparkir
Aku suka jendela-jendela kecilmu
Namun aku tak suka logam-logam berat berbeda ukuran itu
Terlalu berat mereka bagimu
Aku ingin membuang besi-besi itu
Namun ’bibi-bibi’ itu selalun menaruh logam-logam itu ke atasmu
Manakala orang membeli sesuatu
Oh kereta kecilku yang cantik
Aku ingin selalu melihatmu
Walaupun hanya dari kejauhan
Sehari, dua kali aku kesana
Aku tak takut mobil baru milik Baba Ce
Walau kata anak-anak kelas enam mobil itu punya magnet
Yang bisa menarik anak-anak kecil seperti aku
Setiap kali mobil itu menderu dari arah barat, aku ikut bersemunyi ke semak-semak
namun aku akan keluar lagi
karena aku ingin melihatmu
Oh kereta merah di pasar Lalao
Jam istirahat aku akan mencarimu
Di pasar ramai belakang sekolah
Tapi mengapa ada wadah besar di atasmu?
Aku dengar kereta api tak punya ban, itu tak soal bagiku
Tapi aku tak suka wadah besar itu,
Kereta api menjadi buruk bila memikul wadah sebesar itu.
Suatu saat, akan kubuang wadah buruk itu
Atau kuhadiahkan ke pedagang-pedagang Papela
Mereka boleh memakai beribu wadah dan berjuta pemberat
Tapi jangan di atas keretaku
Kemarin Mon Menikah
Kemarin Mon menikah
Kau telah menjadi seorang lelaki sekarang, adikku
Seperti baru kemarin
aku melihat wajah bocahmu yang hitam, gempal dan nakal
kukumu tak pernah bersih
jangan tanyakan lagi jumlah kancing bajumu
atau beresnya resleting celanamu
seperti baru kemarin
aku melihat kau menangis marah
sambil berlari di belakang seorang tua
mencari anak-anak kampung Katá Leten
yang katanya mengasari kakakmu
kau ingin ikut membela
padahal belum seberapa jengkal langkah kakimu
seperti baru kemarin
aku terpana akan kepiawaianmu
menggunakan katapel
di musim panen padi, engkau panen burung
kau selalu membawa pulang hasil buruanmu
kau membawa untuk mama
minta dibakarkan
seperti baru kemarin
aku melihatmu asyik bermain sendiri
di kebun belakang rumah
tiada teman, hanya seekor anjing kesayangan
jika kau sendiri, pasti ada “proyek serius” yang kau kerjakan
seperti baru kemarin
aku melihat kau sedih
berputar-putar di tepi rumah
karena tak mau berpisah dengan papa dan mama
bahkan anjing kesayanganmu pun ikut sedih
kau harus meneruskan sekolah di kota
seperti baru kemarin
aku melukai keningmu tanpa sengaja
saat aku meraut pencil dengan pisau tumpul
kau hanya menangis sebentar
lalu kita bermain lagi
membiarkan papa dan mama bertengkar
membela anak kesayangan masing-masing
seperti baru kemarin
aku melihatmu duduk di samping seorang kakek tua
yang sedang memotong-motong buah kelapa
memberi makan babi-babi
di kala matahari mulai mengucapkan selamat tinggal
dan anak-anak gembala bernyanyi-nyanyi di padang seberang rumah
seperti baru kemarin
aku mendengarmu bercakap-cakap dengan seorang nenek tua
yang makan sirih di teras sebuah rumah
jauh di tengah padang
seperti baru kemarin
aku melihat menyalakan lampu ti’oek
dalam sebuah rumah berpenghuni tiga orang
di tengah sebuah padang
seperti baru kemarin
aku melihatmu menambatkan dua ekor kuda di tengah padang
memindahkan mereka ke tempat yang agak rindang
atau membawa mereka ke telaga
seperti baru kemarin
aku diam-diam kagum akan keuletanmu
merawat sepedamu
mengakui ketekunanmu memelihara ternak
mengomeli ketelodoranmu terhadap pakaian
salut akan kemampuanmu mengatur uang sakumu
seperti baru kemarin
aku melihat kau selalu punya suatu privilege
yang mungkin tak kau sadari:
mengunjungi saudara-saudaramu
beberapa bulan sekali dalam setahun
di sebrang lautan bernama “kota”
imbalannya: kau tak naik kelas
seperti baru kemarin
aku marah padamu karena emosimu yang tak terarah
aku marah padamu tentang cara berpikirmu terhadap papa
aku marah terhadap cara bergaulmu
dan banyak lagi kemarahanku
saudaraku..
seperti baru kemarin
aku melihat wajahmu di antara wajah anak-anak kampung
di antara wajah anak-anak yang berjalan bersama nenek mereka
di antara wajah anak-anak yang canggung akan gamangnya budaya kota
di antara wajah anak-anak yang beruntung mendapatkan kasih sayang nenek dan kakek tercinta
di antara wajah anak-anak kampung yang mandiri, tanpa mainan pabrik
di sana juga aku melihat wajahku, saudara sekandungku
bagaimana aku bisa melupakan wajahku sendiri?
Oeulu, Batilangak, Lalao, Babau, Batuplat,
Di sana kulihat wajahmu adikku
Di sini kupendam darahmu saudaraku
Selamat berbahagia Mon
Bidau Masau, Dili, 3 Mei 2005
______________
Oh Ana Lote, Oh Sarisandu
Oh Sarisandu, oh ta’e ana Lote,
Sasandu haik sedang memanggil;
Dari padang-padang di Mamaluk dan mamar-mamar di Baa Dale
Dari kebun-kebun di Daeurandale sampai sawah-sawah di Lole
Dari Faifua do Ledosu ke Delamuri do Andaiko
Di tepi-tepi Danau Tua dan di lereng-lereng Lakamola;
Di atas bukit-bukit di Nusa Diu dan di tepi pasir putih di Nemberala
Dari pohon-pohon lebah di Sotimori ke rimba Kokolok
Padi dan ladang telah pergi dan mayang-mayang lontar mulai mengering
Dan engkau engkau harus pergi dan aku harus menunggu
Namun pulanglah ketika padi-padi di ladang berbisik dan menghijau bersama rumput liar dan kawanan ternak
karena aku akan tetap di sini,
di bawah terik matahari dan di bawah rindang beringin dan lontar
Oh Sarisandu, oh ana Lote, betapa aku mencintaimu
Dan jika engkau datang ketika mayang lontar mulai mengering
Dan aku telah mati, sebagaimana layaknya aku
Datanglah ke pusara di mana aku tertidur
Duduklah dan nyanyikanlah sosodak bagiku
Karena aku akan mendengarnya
Walau lembut pijakanmu di atas tanah
Dirikanlah sebuah tutus sederhana bagiku
di mana anak-anak gembala akan duduk mendendangkan sarinade tentang tanah air:
“Lete kara tada, fo dae ramado
Nunu kara londa fo piak ramdema”
Maka semua mimpiku akan menjadi hangat dan manis
Sehangat susu mama yang melahirkan aku
semanis tua matak yang disadap ayahku
Jika engkau tak gagal mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku
Aku akan tidur dengan damai sampai engkau datang kepadaku
Dan aku pasti tidur dengan tenang sampai engkau pulang kepadaku
Oh Ana Lote, oh Sarisandu, betapa aku mencintaimu
Ketika anak-anak gembala menggiring kawanan dombanya melintas
Aku tak mendengarnya
Ketika rombongan foti hus menggemuruh di pusaraku
Aku takkan mendengarnya
Ketika sapi-sapi benggala milik bangsawan kaya itu menjejal
Aku pun tak mendengar
Namun bila ujung selimutmu menyentuh rumput-rumput di atas pusaraku
Aku akan mendengarnya
Oh Sarisandu, oh Ana Lote, betapa aku mencintaimu
BSD Tangerang, 29 April 2011
Penjelasan istilah:
-Ana Lote/ta’e ana Lote: Anak Rote
-Sarisandu: Nama laki-laki Rote dalam mithologi Rote tetanng Sasandu
-Sasandu: alat musik tradisional Rote
-Sasandu haik: Sasandu yang wadahnya terbuat dari daun lontar.
-Faifua do Ledosou: nama lain kerajaan Ringgou, kerajaan di wilayah paling timur pulau Rote
-Delamuri do Andaiko: nama lain Kerajaan Dela, kerajaan di wilayah paling barat pulau Rote.
– Sosodak: nyanyian traditional Rote yang biasa dinyanyikan mengiringi sasandu atau mengiringi gong dan tambur.
-Tutus: tugu peringatan untuk mengenang seseorang yang meninggal
-tua mata: nira lontar yang baru disadap, untuk membedakannya dari tua nasu yaitu nira yang telah dimasak.
-Foti hus: salah satu ritus traditional yang hampir punah, bagian utama ritus ini adalah lomba pacuan kuda
-“Lete kala tada fo dae lama do, nunu kala londa fo piak lamdema” adalah penggalan syair dari lagu Au sangaa fali neu Nusa Lote [Aku ingin pulang ke nusa Rote]. Terjemahannya adalah: Bukit-bukit terpele, dan tanah menjauh; [negeri dimana] pohon-pohon beringin bergelantungan dan tebing-tebing meninggi”
Credit foto: Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia
_________________
Jalan Bersama Mama Bokik
Aku ingat berpuluh tahun lalu
aku jalan bersamamu
Dari Lalao ke Oeulu
Langkahmu pendek seperti langkahku
Namun engkau tak berkata “ayo cepat jalan”
Engkau selalu bersabar
Baru sekarang aku berpikir
Engkau telah cukup tua waktu itu
Namun engkau memberi kaki-kaki kecilku tumpangan
Aku di atas kuda, kau berjalan kaki menarik kudanya
Aku senang berjalan bersamamu mama
Matamu seperti mataku juga
Terang dan keras
Namun lucu dan penuh pengertian
Setengah tertutup oleh guratan-guratan usia
Jika engkau lelah, engkau berhenti sebentar
Berhenti dan bertanya kepadaku dari balik penutup kepalamu
apakah aku juga ingin berhenti
seingat aku engkau tak pernah berjalan kaki sejauh itu
namun engkau melakukannya untuk aku
Tigapuluh dua tahun kemudian
aku masih mengingat sinar di wajahmu
aku masih ingat langkahmu mama
Aku merindukan mu mama
Aku bahagia engkau ada bagiku, mama.
Selamat ulang tahun mama.
Serpong, 9 November 2011
* mama bokik adalah bahasa Rote dialek Landu yang berarti ibu kandung. Sejak usia beberapa bulan aku diasuh nenekku di Rote dan aku selalu memanggilnya sebgaia ibu walaupun aku tahu ia adalah nenekku.
_________
Aku Mengingat Guru-guruku
Kecil perawakannya,
Ramah dan selalu tersenyum
Aku masih ingat senyum dan suaranya
Suka mengajak kami menyanyi
Ia pandai bercerita
Sebuah cerita dari sebuah buku bergambar
tentang burung-burung di atas sebuah pohon besar
tak pernah kulupakan sampai sekarang
Selalu ingin kucari buku itu
Tetapi belum jua kutemukan
Ia suka membuat kami berlomba membaca di kelas
Pak Dopen namanya, aku sudah lupa nama depannya
Dia guru pertamaku di kelas satu SD
di sebuah kampung, di pulau paling selatan negara ini
Entah di mana dia sekarang
Ia seorang ibu yang ramah
Aku tahu dia sayang kepadaku
Ia tahu kelebihan dan kelemahanku
Jam pelajaran membaca ia begitu bangga padaku
Jam matematika, ia tersenyum seakan mengerti
Menunggu sampai aku selesai
di saat hampir seisi kelas sudah selesai
Ibu Thene, aku tahu dia sangat baik padaku
dari caranya memperlakukanku
Dia galak
Seisi sekolah takut kepadanya
Aku juga, tetapi aku berusaha mengerjakan semua tugasku
Membaca dan mengikuti pelajarannya dengan seksama
Mungkin karena itu aku selalu mendapat nilai baik darinya
Puluhan tahun kemudian aku tak mungkin bicara bahasa Inggris
Tanpa sekali terlintas di benakku Martinus Suban
Keras, sistematis, namun tahu apa yang dilakukan
Dia ada dalam lintasan hidupku
Ketika aku sangat kacau
Aku merasa diperlakukan tidak adil oleh sekolah
Aku protes, walau dengan cara yang salah
Sering bolos, dan segala macam kenakalan yang dilakukan anak SMA
Tak ada guru yang benar di mataku saat itu
Namun sebuah tempelengan kecil dengan dua jari di pipiku
Tidak keras, namun tak akan pernah kulupakan sampai sekarang
Aku tak marah, aku malu sekali waktu itu
Malu bukan karena dipukul secara keras, tetapi karena disentuh pealn dengan dua jari
Sentuhan dua jari itu ternyata kekuatannya jauh lebih besar
Dari tamparan keras lima jari penuh amarah
Ia membuka mataku sampai bertahun-tahun
Sampai sekarang aku tetap malu kalau mengingatnya
Frans Sowo nama guru itu
Ia cerdas dan konsisten
Kadang sinikal namun lucu
Ia melucu tanpa tertawa
Analisisnya terhadap persoalan kekinian selalu membuat tertawa
Aku tahu apa yang ia mau dari mahasiswa
Aku tak pernah punya buku yang ia wajibkan bagi kami
Namun sesi tanya jawab tak pernah kusia-siakan
Alhasil dia tak pernah tahu apakah aku punya buku itu atau tidak
Ia membenci mereka yang tahu setengah-setengah
Baginya lebih baik tidak tahu
daripada tahu separuh-separuh
Ia tahu batasan pengetahuannya
Namun ia bukan guru berkacamata kuda
Wawasannya luas, seluas konsistensi berpikirnya
Sekuat ketahanan intelektualnya
Andreas Anaguru Yewangoe namanya
Ujilah ia maka engkau akan tahu ia semurni pikirannya
Ada banyak guru dalam hidupku
Kakekku seorang guru dan ibuku seorang guru
Kritis namun tak pernah mengeluh
Sama memperlakukan anak sendiri dan anak lain
Aku ingat wajah-wajah mereka sekarang
Sampai kapanpun akan kuingat
Mereka adalah orang-orang dalam perjalanan hidupku
Oh, ada seorang guru yang tak mengajar di kelasku
Tapi aku bisa membaca karenanya
Bahkan sebelum aku menyentuh bangku sekolah
Magdalena Lenggu, adik ibuku
Ti’i nona begitu biasa kupanggil
di rumah nenek, dalam keadaan hamil besar, ia mengajarku membaca
Terima kasih ti’i nona, terima kasih semua guruku
Kalian adalah wajah-wajah yang tak mungkin aku lupakan
Serpong, 25 November
_______
Teringat Seorang Ayah dari Nazareth
Lonceng-lonceng gereja bersahutan
Angin gemericik di atas sungai
Badai menyeruak di atas langit pekat
Pucuk-pucuk cemara bergemuruh menakutkan
Sepeda perlahan dikayuh
Malam berhias lampu temaram
Aku berdiri di atas jembatan tua ini
Memandang dunia sejauh pandang
Menguatkan hati sebisa raga
Teringat orang-orang terkasih
Leiden, malam, 24 Desember 2012