Heritage

Kol Matobe: Peta politik, sosial dan budaya dalam motif tenunan

Motif Tenunan Kol Matobe [Courtesy David A.N.Fina]

Motif Tenunan Kol Matobe [Courtesy David A.N.Fina]

Oleh: David A.N. Fina
Manila/FILIPINA

Tenunan daerah adalah salah satu warisan budaya di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sarat makna dan bernilai ekonomis tinggi. Hanya saja ia kurang mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial dan gereja-gereja di NTT.

Di sana-sini pemerintah, lembaga-lembaga sosial maupun gereja kelihatannya  telah berupaya untuk mempromosikan tenunan daerah, misalnya dengan menjadikan tenunan daerah sebagai cindera-mata untuk diberikan kepada tamu dari luar NTT maupun Luar negeri yang berkunjung ke NTT. Ada juga instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat yang mengharuskan pegawainya untuk mengenakan pakaian dengan bahan dasar tenunan daerah.Hal-hal ini tentu saja bernilai positif dalam rangka pemeliharan khasanah budaya tenunan daerah tetapi usaha-usaha itu kurang dibarengi pemeliharan nilai, makna  dan  sejarah di balik motif-motif tenunan dimaksud. 

Akibatnya tenunan daerah sebagai sebuah komoditas ekonomi terkesan hambar dan campur aduk di pasar-pasar tenunan di NTT. Hambar karena diperjualbelikan tanpa memperhatikan prinsip pemasaran  “kenali barang daganganmu”. Campur aduk karena penenun di semua etnik di NTT dianjurkan untuk “berani warna” (inovatif dalam penempatan warna). Dahulu warna dan kombinasi warna dalam tenunan mencerminkan identitas klan atau suku tertentu, kini pencampuran warna justru mengaburkan identitas.   

Tulisan ini dimaksudkan sebagai ajakan untuk mengenali lebih dalam warisan budaya kita. Ajakan untuk mengenali lebih dalam siapa kita melalui aneka tenunan daerah di NTT.

“Kol matobe” terdiri dari dua kata “kolo” dan “tobe”. Kolo berarti “burung”. Dalam bahasa ritual orang Meto[1] “kolo” selalu dipasangkan dengan “Manu” (ayam).[2] Ada kalanya Kolo dan Manu juga dipadankan dengan “Asu” (anjing) dan (Babi).  Seorang usif[3]Meto menyebut/memanggil rakyat/masyarakatnya sebagai   “ayam dan burung – “Anjing and Babi” miliknya. Istilah kolo – manu dipakai untuk menggambarkan  hubungan antara  usif dan rakyatnya bukan hanya dalam konteks politik pemerintahan  tatapi juga dalam konteks kekerabatan. Sedangkan kata Asu dan Fafi lebih merujuk pada rasa hormat dan takluk dari rakyat terhadap usifnya.

Adapun kata “matobe” dijabarkan dari kata kerja “tobe” berarti “menutup”  dan awalan pasif “ma”  berarti telah ditutup atau telah dinaungi oleh. Pegertian kata ini menunjuk pada pada klaim bahwa masyarakay/rakyat, baik yang dekat dan yang jauh, telah ditutup atau dinaungi oleh usif. Dalam konteks motif kol Matobe berarti rakyat Pit’ai  ditutup atau dinaungi oleh usif Pit’ai.

Motif tenun Kol  [Courtesy David A.N. Fina]

Motif tenun Kol [Courtesy David A.N. Fina]

Kol matobe adalah motif tenunan daerah untuk bangsawan Pit’ai. Motif peta wilayah Pit’ai. Dalam  syair ritual adat dikatakan: “Wilayah kami terbentang dari tempat tumbuhnya  Mili[4] dan Fen Fena[5] di pegunungan Mutis sampai ke daerah tumbuhnya Gewang” (Hai Pahe na’nak Mili ma Fen fena – Nahae Tuni ma Noe).[6] Wilayah ini di sebelah Timur dan Selatan berbatasan dengan wilayah Usif  Kono di Meomafo, dan Usif Oematan di Molo,  kearah Barat melewati wilayah Amfoang dan Fatuleu sampai ke pesisir pantai Kupang.

Bagian pesisir pantai Kupang disebut dalam bahasa ritual adat sebagai “Eno ana Sonu dan Bi Nifu atau Nesu ana Sunu dan Bi Nifu” (yaitu wilayah Sulamu dan Pariti pada masa kini). Peta wilayah ini pada masa kini masih dapat ditelusuri melalui marga-marga usif dan amaf  di, Nenas, Nuapin, Noebesi,[7] Oil Naineno, Taemanu, Nununase, Fatu Oni dan Bi Nifu [8] meskipun daerah-daerah ini telah mengalami proses penyatuan dan pembauran sejak masa pembentukan Swapraja tahun 1910, Masa Orde Baru – terutama melalui program desa konsentrasi di mana masyarakat yang tinggal di kampung – kampung tua  di paksa pindah ke pinggir-pinggir jalan raya untuk kepentingan administrasi pemerintahan orde baru pada akhir tahun 1960an dan awal tahun 1970an, dan pemekaran wilayah kebupaten kota dan kecamatan baru akibat diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah pada masa paskah Orde Baru atau yang lebih di kenal dengan “Orde Reformasi”. 

Dahulu wilayah “Bui Luli – Bi Kauniki” adalah bagian tengah dari wilayah Pit’ai.  Dalam perjalanan sejarah Bui Luli – Bi Kauniki diberikan kepada Sonba’i. Pada mulanya pemberian itu hanya bersifat simbolis untuk menghidupkan kembali kerajaan Sonba’i yang terpecah. Pemberian simbolis itu ditandai dengan perkawinan antara Sonba’i dengan Putri Pit’ai yang bernama “Kolo Pit’ai”.  Perkawinan itu juga menandai persekutuan politik antara Sonba’i dan Pit’ai. Namun persekutuan itu tidak bertahan lama. Sonba’i dianggap telah menghina Pit’ai dengan mengatakan bahwa anak2 yang dilahirkan putrinya tidak menyerupai Sonbai. Anak-anak itu dibunuh dengan kejam dan diberikan kepada buaya.  Akibatnya Pit’ai mendeklarasikan diri sebagai kerajaan Merdeka (Atoni Taken – orang merdeka) dan memisahkan diri dari Sonba’i. Akan tetapi rakyat Pit’ai yang ada di Fatuleu terpisah dari Usif utamanya yang berada di Gunung Mutis. Untuk menandai identitas diri orang Pit’ai di Fatuleu dan Pesisir Pantai Kupang, maka diciptakan motif tenunan daerah “Kolo Pakan” (har. burung terbuka) atau burung tidak bertuan.[8]

Kol matobe bukan hanya berhubungan dengan luas atau bentangan wilayah yang diklaim sebagai milik pusaka kelompok marga (klan) Pitai, tetapi juga mencakupi pengertian hubungan masyarakat Pitai dengan pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup.

Bagian luar dari motif Kol matobe yang ditenun menyerupai jajaran pohon dan  sisi luar dari bentangan dasar tenun pitai yang berwarna putih adalah symbol dari hutan di dalam wilayah Pit’ai. Itulah sebabnya para tetua dari rumpun keluarga Pitai di pegunungan dan juga di pesisir pantai selalu disapa dengan sapaan am Nasi (bapak hutan) dari pada nama pribadi mereka, bahkan semua yang memakai motif tenunan ini disapa oleh kelompok masyarakat Meto  lainnya  sebagai atoni nasi nanan (orang dari dalam hutan). Sedangkan bentuk Kol matobe yang menyerupai gunung adalah symbol dari batu nama (faut kanaf) mereka yang diwarisi turun-temurun yaitu gunung Mutis.

Mengenai bagian tengah dari motif ini, masih terdapat pertentangan diantara tua – tua Pitai. Ada tua-tua Pitai yang menafsirkan kaitan-kaitan dan kotak dari mana kaitan-kaitan itu ditarik pada bagian tengah motif ini, sebagai symbol wilayah dan keberadaan suku-suku di Timor barat (Amanatun, Amanuban, Ambenu, Amfoang, Amarasi, dan Amabi). Sedangkan garis horisontal dan fertikal yang menghubungkan kotak dan kaitan2 itu adalah symbol kehadiran Pitai.

Dalam pemahaman ini Pitai adalah representasi dari suku-suku di Timor barat dalam rangka pemeliharan daerah inti di Timor barat, yaitu Gunung Mutis. Artinya kehadira kelompok masyarakat Pitai mengemban misi pelestarian lingkungan hidup, mewakili suku-suku yang ada di Timor Barat. Sebab bagi mereka Gunung Mutis adalah apa yang mereka ungkapkan dalam syair “tisi fanu – loli fanu, sei fanu – lala fanu”” (delapan tetesan – delapan aliran, delapan titian – delapan jalan). Dalam ungkapan yang pertama Mutis dipandang sebagai tempat dari mana mengalir air bagi kehidupan suku-suku di Timor barat. Sedangkan ungkapan yang kedua menunjuk kepada semua jajaran  atau punggung bukit yang menghubungkan semua suku di Timor barat dengan Mutis.

Ada pula yang mengatakan bahwa kaitan – kaitan  pada motif itu adalah lambang dari Mili dan fen – fena. Dalam ungkapan syair adat, mili dan fen-fena  selalu digandengkan dengan elof dan saknati (tumbuhan rumput di daerah pegunungan yang dipakai sebagai bahan utama atap rumah menggantikan daun gewang, sebagaimana nampak dari ungkapan berikut ini: “hai pah-e na’nak mili ma fen – fena, elof ma saknati “ artinya “Wilayah kami terbentang dari tempat tumbuhnya Mili dan fena-fena, elof dan saknati”. Ungkapan ini mengandung pengertian bahwa di daerah pegunungan Mutis kolompok Klan Usif Pit’ai dan masyarakat boleh tinggal dan berkebun di daerah yang ditumbuhi oleh jenis rumput ini (1000 m – 1500 m di atas permukaan laut). Sedangkan wilayah yang ditumbuhi oleh Mili dan fen-fena adalah wilayah hutan digunung Mutis yang dikeramatkan dan secara tersirat dianggap sebagai  wilayah  dari usif pitai terpilih. Dalam penjelasan mereka, kekeramatan itu selain karena hutan adalah tempat  tinggal usif Pitai utama atau biasa juga disebut “Usif dalam”[9]  karena dianggap sebagai pusat wilayah kekuasaan) tetapi juga mengandung pengertian pemeliharaan keanekaragaman hayati berkelanjutan di wilayahnya. Hutan Mutis adalah tempat transisi dari semua binatang liar pada puncak musim panas (pada waktu semua tumbuhan rumput didataran rendah kering). Ia juga dianggap sebagai tempat dari mana berkembang biaknya semua binatang liar dalam wilayah usif Pitai atau (dalam konsep modern mengenai pemeliharaan lingkungan disebut Zona inti).

Semoga kita memahami bahwa dibalik motif-motif tenunan daerah di NTT tersembunyi sejarah dan identitas suku, clan dan marga kita. Ada yang merupakan klaim wilayah, ada pula yang hanya berupa motif dari binatangatau tumbuhan totem keluarga.  Makna dan sejarah suku dan atau marga yang terkandung di dalam motif2 itu,  mungkin tidak lagi relevan dalam konteks masa kini, tetapi semuanya mengingatkan kita akan siapa diri kita. Memelihara kekayaan budaya tenun ikat atau bentuk2 kebudayaan lainnya sama halnya dengan memelihara identitas kita dan sejarah kita.  [S]


[1] Meto adalah nama Ethnik terbesar di Timor Barat. Kata Meto berarti kering, namun dapat juga berarti daratan. Berlawanan dengan interpretasi umumnya mengenai pengertian “meto” sebagai tanah kering, dalam tulisan ini akan menggunakan pengertian “daratan” sehingga “Atoni Meto/atoin meto” diterjemahkan dengan “Orang Daratan” dalam perbandingan dengan “Atoni Oe” orang air.

[2] Kolo Manu juga adalah istilah yang umum dipakai untuk menyebut kerabat dekat (Manu) dan jauh (Kolo). Selengkapnya mengenai istilah kekerabatan orang Meto bisa dibaca dalam Disertasi Dr. Hendrik Ataupah “Ekologi, Persebaran penduduk, dan Pengelompokan orang Meto di Timor Barat” (Universitas Indonesia 1992)

[3] Untuk menghindari bias pengertian bahasa selanjutnya akan digunakan kata “Usif” untuk merujuk kepada gelar Raja, kepala suku, Bangsawan dan seterusnya.

[4] Mili adalah tumbuhan paku berdaun tiga yang umbinya harum dan tumbuh dipegunungan Mutis di atas  ketinggian 1,500 meter di atas permukaan laut

[5] Edelweis – Leontopodium alpinum  atau Leontopodium nivale ssp.

[6] Tuni atau Tune adalah nama nama meto dari Gewang – tumbuhan Palam yang tumbuh di daerah pesisir pantai  atau Corypha Gebanga Lat. Sedangkan Noe adalah daun  dari gewang yang digunakan sebagai bahan dasar atap rumah dari orang Meto di pesisir pantai atau di daerah dataran rendah.

[7] Wilayah usif Tusala – Laome dengan amafnya Noel, Tapatap, Sun dan Tunmuni

[8]8. Usif Tkel menguasai tiga wilayah dengan amaf “Toto – Eki – Nifu – Salael” berpusat di Oel Nainino9, Sila  – Lopo -Tael – Sete – Musu – Eke betempat di Talmanu 10 Ate – Tafetin – Lidj – Mat’isu  di Nunase 11 Elan – Tkeni – Nofu – Luma bertempat di Fatu Oni. Usif Bana dengan amaf-amafnya  Noel – Tapatap – Tunas – Kune – Noel – Olla – Lalan – Keke Tanaob di Sonu dan Bi Nifu (Dewasa ini lebih dikenal dengan Sulama dan Pariti). Keturunan dari usif Pit’ai Bana telah kawin mawin dengan masyarakat Etnik Rote yang ditempatkan oleh Belanda pada dekade pertama atau kedua dari abad ke 19 di pasisir pantai Kupang. Marga Usif Bana menurut H Ataupah (Kmunikasi Pribadi) kemungkinan dilanjutkan melalui marga Isliko yang kemungkinan juga adalah bentuk latah dari Usi Kliko (Usif Bungsu) yang dipakai oleh Usif-usif Pit’ai “Tusala – Laome – Tkel” untuk menyebut usif Bana sebagai yang bungsu (paling kecil) dari ke empat Usif Pit’ai itu. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi hal ini.

[8] Selengkapnya mengenai hubungan antara Pit’ai dan Sonba’i akan dibahs dalam  tulisan tersendiri.

[9] Oposisi Binari “Dalam dan Luar”, Perempuan dan laki-laki  lazim dalam kategory systim politik tradisional di Timor.  Usif tertinggi di Pit’ai atau usif dalam ada dalam kategory gender perempuan , sedangkan usif Eno atau Nesu (pintu dan Gerbang) adalah usif luar, jatuh dalam kaytegori gender laki-laki. Kata laki-laki (mone)  secara harafiah juga berarti Luar.  Usif Dalam adalah usif pasif. ia juga disebut Usif Atupas (Usif tidur). Ia tidak menjalankan pemerintahan. Ia mungkin dapat dianologikan sepertti Raja/ratu dan perdana menteri dalam system demokrasi  modern.

Tinggalkan Komentar