Opini

Global Problem, Local Solution: Adaptasi Perubahan Iklim Dengan Menggunakan Sailana Model

Lassa-JonatanOleh Dr. Jonatan Lassa*

Berita global hari ini di dominasi oleh tren para pemimpin dan pemikir dunia mencari solusi perubahan iklim. Perubahan iklim telah menjadi masalah glokal alias global dan lokal sekaligus. Salah satu kerisauan adalah problem kompleksitas pembangunan di Negara berkembang, kerap membuat masalah perubahan iklim tidak di tanggapi secara strategis dan belum dilihat sebagai bagian dari strategi pertahanan non-tradisional (membedakan dari pertahanan tradisional) dalam menghadapi ancaman terhadap pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya.

Secara praktis hanya dua solusi: Pertama mengurangi kadar gas emisi carbon dioksida (CO2) serta lainnya seperti metana (CH4) yang biasanya dikenal dengan nama mitigasi perubahan iklim; Kedua, adaptasi terhadap perubahan iklim. Adaptasi yang dimaksud meliputi berbagai macam respon logis (baik yang bersifat antisipatoris – mengantisipasi risiko-risiko iklim dalam berbagai anomali iklim seperti curah hujan berkepanjangan di NTT di tahun 2010) maupun yang bersifat reaktif (yakni menunggu kejadian iklim ekstrim baru bertindak).

Masalahnya adalah di Negara berkembang, termasuk Indonesia, respon logis berupa adaptasi perubahan iklim, kebijakan publik belum dilihat sebagai kunci meminimalisir dampak. Kebijakan publik di sini bermakna penyesuaian di level anggaran (penguatan sektor-sektor rentan iklim seperti pertanian dan irigasi, infrastruktur yang kedap banjir, investasi drainase perkotaan dan drainase jalan raya, pengelolaan kekeringan yang tidak hanya direduksi (dan salah kaprah) sekedar dalam bentuk padat modal seperti membangun ribuan embung, mitigasi bencana dsb.).

Respon logis dalam kebijakan publik menuntut kecerdasan politik anggaran ditingkat kabupaten dan kota. Diperlukan juga kecerdasan administrative yakni adanya aparatur/administratur Kabupaten dan Kota yang paham soal adaptasi iklim. Kecerdasan teknis diperlukan dalam wajah aparatur yang paham secara teknis masalah dan solusi adaptasi perubahan iklim. Di NTT, masalahnya bukan ada tidaknya SDM dalam tubuh pemerintah daerah, tetapi lebih kepada logika penempatan pegawai yang tidak kompeten pada posisi-posisi yang menuntut pengetahuan teknis sebaliknya yang berkompetensi cenderung tidak mendapatkan porsi jabatan yang memadai (asas kepatutan profesi teknis). Fenomena ini bermuara pada kondisi yang dikenal dengan istilah orang buta memimpin orang buta (the blinds lead the blinds).

Di Indonesia dan negera berkembang umumnya, ketiga bentuk kecerdasan yakni teknis, administrative dan politik lokal ini tidak berjalan seiring (alias mismatched). Akibatnya, solusi lokal  cenderung reaktif dan cut & paste dari tempat lain. Tren umum adalah pengadaan kecerdasan teknis (baca: konsultan teknis) yang sekedar di datangkan dari tempat lain, membawa konteks lain, lalu diterapkan di lokalitas NTT. Masalahnya adalah pola cut & paste (alias nyontek) seperti ini sering kali tidak tepat dan tidak mengenali praktik-praktik cerdas yang kerap kali bergerak lebih maju dari para administratur dan politisi local.

Model Saelana: Adaptasi Perubahan Iklim

NTT selalu diberkahi dengan berbagai macam individu yang memiliki karakter penyimbangan positif (positive deviance). Salah satu buktinya terdapat dalam diri seorang pendeta marginal bernama Sefnat Sailana. Karena inovasi dari Pdt. Sailana ini terbilang unik sehingga oleh dianugerahi NTT Academia Award 2010 (18 Desember 2010), penulis mendedikasikan inovasi ini dengan nama SAILANA Model sebagai praktek cerdas setempat dalam adaptasi perubahan iklim.

Walau berbagai media lokal NTT (termasuk media ini) dan juga berberapa media Nasional (seperti Jakarta Post (Lihat Fointuna 14/10-2011 “Relocating church altar for environmental conservation”), penulis mencatat secara lebih detail berbagai inovasi yang dibuat Sailana. Pertama, di Apui, Sailana melakukan terobosan teologis dan ekologis (atau tepatnya eco-theology) yang ‘radikal’ dengan pertama-tama melihat peran gereja sebagai polluters (pelaku kerusakan lingkungan – yakni bahwa gedung-gedung gereja dan harta milik jemaat misalkan dalam bentuk asset rumah) menciptakan tekanan pada lingkungan hidup. Hutan, air, air tanah dan tanah menjadi terdegradasi.  Pengetahuannya yang diperoleh dari sebuah edisi Majalah Percik 2003 dikonversi Sailana dengan menciptakan ide-ide seperti penciptaan sumur resapan. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan inovasi-inovasi membangun hutan jemaat, menumbukan pohon-pohon pelindung. Jebakan-jebakan air di kali (sungai) kering. Kegiatan menaman rumput di halaman gereja dilakukan dengan observasi sedernanya bahwa erosi tanah dapat terjadi akibat angin yang membawa humus tanah sejak 2002.

Salah satu praktek eco-theology yang dilakukan Sailana adalah dengan melakukan ibadah tahunan di sumber-sumber air (bertepatan dengan Hari Air Internasional), Doa Larang untuk mencegah kebakaran dan penggunaan potassium, membawa ‘mimbar’ ke daerah-daerah tangkapan air. Dalam studi-studi pengelolaan sumber daya alam, hal ini dikenal dengan istilah penciptaan kelembagaan alternatif yakni dengan menciptakan constraints secara simbolik dan praktis dalam mencegah kerusakan lingkungan setempat di tengah kesulitannya untuk meyakinkan pentingnya perilaku hidup ekologis.

Sailana Model  versus Santmire

Dalam observasi teologi ekologis, panggilan memenuhi bumi memiliki implikasi destruktif yakni berupa penaklukan alam untuk keberlanjutan manusia – sering dilakukan ibarat zero sum game – keberlanjutan manusia adalah akhir dari keberlanjutan alam. Pertanyaan klasik yang terus diajukan bagi para mahasiswa studi lingkungan adalah bagaimana menjembatani dua dunia tersebut menjadi harmonis bahwa keberlanjutan manusia bermakna keberlanjutan lingkungan alam dan sebaliknya dalam keberlanjutan lingkungan alamilah terletak masa depan manusia. Dalam perspektif ilmu pengetahuan, khususnya studi-studi ekologi, pendekatan zero sum game di atas tentu keliru. Akhir dari keberlanjutan alam adalah bencana bagi manusia – kondisi eskatologis yang dipercepat oleh tangan manusia sendiri dalam wajah bencana ekologis (Sumber: Majalah GMIT 2010 – Mandat Ekologis Kristen: Menuju “Kelahiran Baru” Lingkungan Alam?)

Menariknya adalah munculnya paradigma eco-theologis yang relative bersamaan antara Sailana di Apui, Alor Tengah Selatan dengan Paul Santmire di Boston, Massachusetts USA (Lihat: Nature Reborn: The Ecological and Cosmic Promise of Christian Theology. By H. Paul Santmire. Theology and Science Series. Minneapolis: Fortress Press, 2000.). Kritik Santmire adalah bahwa pemikiran-pemikiran Kristen tentang ekologi dan lingkungan dalam tiga dekade terakhir adalah bahwa Kitab Kejadian tentang penaklukan bumi adalah yang paling sering disalah pahami sehingga dengan mudah mandat penaklukan bumi berubah mentuk menjadi penghancuran ekologis dalam bentuk keji seperti ekosida (ecoside) dan biosida (biocide). Proposal dari Santmire adalah pembaharuan relasi yang baru antara manusia dan alam sebagai konsekuensi dari pembaharuan relasi yang baru antara Manusia dan Tuhan (dalam Kristus) dalam dengan membangun konsep etika lingkungan yang reformis agar Kekristenan mampu menjadi pioneer dalam perbaikan lingkungan bukan sebaliknya.

Namun dalam studi kritis tentang ekologis, pendekatan Santmire disambut walau dengan pertanyaan seputar pendekatan dikotomis manusia versus lingkungan alam, seolah ke duanya terpisah atau bisa dipisahkan relasi eksistensinya. Pendekatan dikotomis ini sering dianggap sebagai pangkal masalah lingkungan dan fenomena pasifnya gerakan lingkungan dari kalangan Kristen. Fenomena yang kontras adalah misionaris agama-agama sibuk mencari jiwa yang hilang demi penebusan jiwa, sedangkan kaum environmentalists sibuk menebus firdaus yang hilang akibat visi sumber daya alam yang keliru dari agama-agama. Penulis sering bertanya mengapa di dalam gerakan protestanisme ‘garis keras‘, environmentalist sering berkonotasi negative sedangkan geologist dan sekelompok profesional berakhiran –ist tidak berkonotasi negatif?

Menariknya, dalam interpretasi Sailana, dikatakan bahwa alam dan manusia setara. Berbekal pengalaman Sailana selama ‘berkelana‘ di Sabu dan Rote sebagai pendeta, membawa beliau melihat kembali bagaimana mandat ekologis Kristen yang dipercayainya dengan mengatakan bahwa manusia dan alam adalah setara. Konsep Sailana ini tepat memperkuat statement World Church Council  12 tahun lalu yakni “Dorongan untuk ‘menguasai’ alam ciptaan telah menghasilkan eksploitasi sumber daya alam yang tidak masuk akal, pengasingan lahan dari pemiliknya serta penghancuran budaya asli…. Alam ciptaan menjadi ada kerena kehendak dan cinta Allah Tritunggal dan karenanya memiliki ikatan batin dan mengandung kebaikan. Meskipun mata manusia mungkin tidak selalu melihat hal itu, setiap makhluk dan seluruh ciptaan dalam paduan suara kesaksian tentang mulianya kesatuan dan harmoni dengan ciptaan diberkahi.“  (Petikan Dokumen Dewan Gereja Dunia, Granvollen, Norwegia 1998)

Model Sailana tentu tidak sempurna, dan perlu dikritisi (dalam lensa sains dan ilmu pengetahuan) agar terjadi penajaman praktek dan konsep. Tetapi pembelajaran dari Apui Alor adalah bahwa problem global dapat diselesaikan secara lokal. Institutionalisasi kesadaran ekologis oleh Sefnat Sailan diungkapkan secara polos sebagai berikut: “supaya tidak mimbar sentris, tetapi membawa mimbar ke tengah alam semesta ciptaan Tuhannya. Lingkungan hidup masuk dalam pembinaan anak dan remaja serta katekesasi.“

Pesan moralnya adalah bahwa solusi-solusi lokal jangan di cari jauh-jauh. Masuklah ke kampung-kampung di NTT, dalam institusi-institusi sosial yang ada, selalu ada individu-individu yang semangat juang dan kejeniusan lokalnya mampu membuat perbedaan dan mampu memberikan solusi pada persoalan global-lokal. Sepanjang hal ini dikenali, ditopang oleh ketiga kecerdasan di atas (politik lokal, administratif dan teknis) maka replikasi-replikasi Model Sailana dapat dilakukan dengan anggaran yang lebih cermat dan lebih hemat. Bagaimana menurut anda?

* Research Fellow pada IRGSC Kupang

Tinggalkan Komentar